“Negara sebagai a necessary evil, barang jahat yang terpaksa diperlukan”
Setahu saya, pemerintah adalah sebuah mahluk fiktif. Pada suatu hari saya masuk ke sebuah departemen. Gedung itu bertingkat tujuh, dengan arsitektur yang mempertahankan diri sepenuh hati pada garis lempang. Di depan lobi duduk-duduk seregu satpam. Tapi mereka tak meminta saya berhenti menunjukkan identitas. Saya tidak begitu pasti apa yang mereka kerjakan. Saya melangkah dengan leluasa—meskipun harus menuggu sepuluh menit untuk bisa mendapatkan tempat dalam lift, yang selalu penuh dengan orang.
Hari itu saya bermaksud bertemu dengan seorang pejabat di lantai 5. Saya masuk ruang kerja sebuah biro. Orang yang akan saya temui belum datang. Seorang sekretaris mempersilahkan saya duduk. Saya menuggu. Dari ruang tamu yang agak terpisah itu saya dapat melihat deretan manusia—mereka disebut pegawai negeri—di depan meja-meja warna kusam. Mereka membaca koran. Atau bercakap dengan nada normal tak putus-putusnya. Tak seorangpun yang tampak bekerja. Ketika kemudian saya diberi tahu bahwa pejabat di lantai 5 itu membatalkan pertemuannya dengan saya—ada rapat mendadak dengan Pak Menteri, kata sekertaris—saya pun pulang dengan kesimpulan. Bentuknya sebuah ruang peristirahatan.
Maka mengherankan sebenarnya bahwa pemerintah sudah lama jadi satu subjek yang sering ada dalam percakapan kita—hampir sesering Tuhan sebagai suatu yang menentukan nasib dunia. Bagaimana orang bisa menghubungkan citra itu dengan mereka yang suka duduk-duduk beristirahat selama delapan jam sehari, itu misteri tersendiri. Seorang gubernur baru, artinya seorang yang baru jadi bagian dari mahluk fiktif itu, pernah mengeluh bahwa di kantornya sepucuk surat perlu waktu 30 hari untuk lepas menuju si alamat. Para pegawai berusaha keras agar surat sang gubernur matang lebih dulu melewati deretan meja dan stempel, sebelum terbang ke luar balai kota, dan tentu saja terlambat.
Meskipun demikian, repuplik tidak runtuh, jembatan-jembatan belum jebol, rel kereta masih terpasang sejajar, rumah sakit umum belum dijual, dan penjara masih terjaga. Saya tak pernah selesai berpikir apa gerangan yang membuat alat-alat pemerintah—seraya duduk-duduk membaca koran di kamar kerja—bisa membuat keajaiban itu. Mitos? Cerita yang diulang-ulang dan dipercaya bahwa birokratisasi tak pernah mandek berfungsi?
Barangkali juga suatu ikhtiar kolektif unutk menyelamatkan diri: pemerintah membiarkan para pegawai berpura-pura bekerja supaya ia bisa terus berpura-pura mengaji mereka. Para pegawai itu berpura-pura bekerja karena masyarakat sebenarnya senang dengan keadaan itu. Birokratisasi yang sangat aktif akan sangat menganggu kehidupan dengan teramat banyak peraturan. Sebaliknya, masyarakat pelu mengadakan birokrasi untuk dua hal. Yang pertama, untuk menciptakan ilusi tetang ketertiban dan keadilan. Yang kedua, untuk menciptakan lapangan kerja dengan upah rendah.
Penjara-penjara tetap penuh dan terjaga adalah contoh yang terbaik tentang hidup yang sebetulnya tak tertib dan tak adil namun dikemas sehingga tampak tertib dan adil. Jembatan belum jebol, rel kereta masih paralel, rumah sakit umum masih “milik negara”, dan Republik belum runtuh—semua itu menyembunyikan kenyataan bahwa yang berperan adalah sebuah transaksi. Masyarakat membayar sejumlah uang, baik dalam pajak maupun suapan. Para birokrat menerima—acap kali lebih besar ketimbang yang semestinya, terutama ketika biaya proyek dipergemuk untuk kemudian diparuh dan dibagi-bagi. Dengan kata lain, yang bekerja adalah mekanisme yang tak sama dengan arti “pemerintah”. Pemerintah, sebagai sehimpun ketertiban dan wibawa, adalah sebuah fiksi. Fiksi itu harus dibangun, karena sebuah masyarakat senantiasa cemas akan chaos.
Mungkin itu pemerintah atau “negara” bukanlah barang yang menarik dalam pemikiran “kiri” maupun “kanan”. Karl Marx membayangkan bahwa akhirnya negara akan “melapuk hilang”, ketika sebuah masyarakat yang sama rata dan sama rasa terbentuk. Di tahun ini seorang penulis politik Amerika yang terkenal, Garry Willis, menerbitkan bukunya, A Necessary Evil, suatu ikhtisar tentang sikap orang Amerika yang mencurigai peran pemerintah. Di antara para pencuriga itu tercantum pendiri komune hippie dan juga kaum rasialis Ku Klux Klan, dan tak boleh dilupakan: kaum konservatif di kancah Partai Republik, yang yang ingin menghilang banyak sekali peran negara—termasuk dalam menolong mereka yang miskin, minoritas yang lemah.
Ada nilai-nilai tersendiri di kalangan orang yang ogah-negara ini. Negara sebagai a necessary evil, barang jahat yang terpaksa diperlukan, harus minimal sosoknya. Para ogah-negara menganggap bahwa apa yang bisa diterima adalah kegiatan mengurus masyarakat secara spontan, tidak teknokrasi, tidak sentralis, bahkan, karena harus selalu bergilir, bukan professional, bersifat sukarela, popular, dan selalu mengajak serta. Garry Willis menyebut juga tiga nilai lain: amatir, tradisional, religius.
Bagaimana itu mungkin? Di Indonesia para teknokrat dan para priyai akan menertawakan impian semacam itu. Mereka mengaku bahwa korupsi dan letargi berlangsung dalam pemerintahan—tetapi itu justru karena “oknum-oknum”nya tidak profesional. Tentu saja: para teknokrat dan para priayi. Namun saya telah melihat bagaimana kantor pemerintah mirip ruang peristirahatan…
Bisa jadi, itulah sebabnya, setelah sebuah Indonesia yang disihir oleh baju seragam safari—dengan topeng otoriter-birokratis di Gedung-gedung tinggi—angin pun bertiup, dari pedalaman, ke arah lain. untuk pertama kalinya dalam sejarah, di akhirnya abad ke 20, elite baru Indonesia adalah para santri: yang sarungan, spontan, amatir, popular, tradisional, religious…
Dan kita belum tahu apa yang kemudian akan terjadi.
Tempo, 5 Desember 1999
Sumber: Buku dengan Judul “Catatan Pinggir 5”,PT. Temprint
0 Comments