SANG DIRI DAN ALLAH

Sumber: assets-a1.kompasiana.com

Oleh
Syekh Siti Jenar




Sang Diri telah dibahas pada buku Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian”. Namun, dalam bab ini pengetahuan tentang Sang Diri akan dibahas lagi dari sudut pandang yang lain. Oleh karena itu, marilah kita periksa kembali bab dua. Pada bab tersebut telah diterangkan bahwa elemen–elemen penyusun diri manusia adalah lapisan jasmani atau jasad, lapisan nafsani atau jiwa, dan lapisan ruhani atau sukma. Masing-masing jenis tubuh itu ada instrumen atau alat untuk dapat menangkap kebenaran pada dimensinya.

Tubuh jasmani manusia memiliki enam indra (sadindriya), yang wujudnya :
1. Telinga sebagai (alat) untuk mendengar).
2. Mata sebagai peranti untuk melihat.
3. Hidung sebagai peranti untuk mambau.
4. Lidah sebagai peranyi untuk mengecap rasa, (manis, masam, pahit, pedas, dan sepat).
5. Kulit-daging-tulangku sebagai peranti penyuruh yang berkaitan dengan rasa panas, dingin, perih, nyeri, linu, ngilu, dan lain sebagainya.
6. Pringsilan sebagai peranti untuk membangkitkan nafsu seksual, keinginan, kemarahan, dan berbagai jenis emosi yang terkait dengan jasmani.


Badan nafsani atau lapisan jiwa merupakan badan halus (badan alus) yang ada di dalam tubuh manusia yang hidup. Disebut badan halus karena benda ini bukan wujud fisik material. Badan nafsanilah yang menyebabkan semua organ jasmani bekerja sesuai fungsinya. Dengan kata lain, jika semua organ tubuh ini diumpamakan sebagai sistem kereta kuda, maka badan nafsani dapat diumpamakan sebagai kuda yang dipakai menarik kereta itu. Lapisan ruhani merupakan badan yang paling halus dan merupakan arsy atau singgasana bagi Sang Diri atau Sang Pribadi.
Sebagaimana telah dituturkan dalam buku Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian”, badan nafsani terdiri dari 7 subbadan halus. Masing-masing subbadan tentunya mempunyai peranti untuk untuk kesempuraan manusia.


Fungsi – fungsi subbadan halus atau badan nafsani dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Badan qashr atau bumi retno berkaitan dengan fungsi jasmani dan ketaatan lahiriah.
2. Badan shadr atau bumi kalbu berkaitan dengan fungsi kesadaran lahiriah dan keimanan.
3. Badan qalb atau bumi jantung berkaitan dengan fungsi pengetahuan, keinginan, dan emosi yang terkait dengan khayali atau abstraksi manusia. Misalnya, emosi yang berkaitan dengan agama, kepercayaan, dan nilai-nilai atau norma dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Badan fuad atau bumi budi berkaitan dengan fungsi angan – angan, pujian, zikir, rasio, dan pikiran (penalaran).
5. Badan syaghaf  atau bumi jinem berkaitan dengan fungsi cita-cita, kesetiaan, cinta, kasih, estetika, dan etika.
6. Badan lubb atau bumi sukma berkaitan dengan sabar, syukur, dan tafakur.
7. Badan sirr atau bumi rahmat berkaitan dengan rasa mulia atau rasa sejati.


Dalam bab empat telah diterangkan fungsi-fungsi badan itu hingga badan fund. Badan ini harus diberdayakan agar akal-pikiran bisa tumbuh dan berkembang. Jika fungsi fuad ini diberdayakan teru-menerus, maka badan syaghaf dan lubb dikondisikan untuk membangkitkan rasa cinta, sabar, syukur, ridha, dan ikhlas yang sebenarnya. Artinya, hal-hal tersebut akan tumbuh tanpa disertai pamrih maupun kepuraan. Selanjutnya, kondisi inilah yang akan mendorong tumbuhnya sikap hidup yang penuh rahmat.


Badan nafsani tidak akan bisa difungsikan dan di berdayakan secara maksimal bila tidak di gerakkan oleh ruh-ruh yang ada di dalam diri manusia yang hidup. Hubungan badan nafsani dan badan ruhani itu seperti hubungan bumi dan langit. Bumi menumbuhkan berbagai macam kehidupan karena adanya langit (atmosfer, berbagai jenis gas, dan cahaya).
 Masih ingatkah anda tentang jenis-jenis ruh yang dijelaskan oleh Imam Ghazali pada bab dua? Ada lima jenis ruh yang diuraikan dalam bab tersebut. Tetapi, dalam ajaran ilmu batin di Jawa, jenis-jenis ruh itu diterangkan di dalam Suluk Sujinah. Seperti perumpamaan bumi dan langit yang berlapis tujuh, maka badan nafsani dan bada ruhani masing-masing terdiri dari tujuh lapisan. Ketujuh badan ruhani ini tentu saja sangat halus dan lebih halus daripada badan nafsani.


Badan ruhani merupakan singgasana bagi Sang diri atau Sang pribadi. SP ini dapat diumpamakan sebagai bayangan Dzat Allah dalam cerminan semesta. Bratakasewa menyebut SP ini Purusha. Di dalam AL-Quran diterangkan bahwa Allah itu meliputi segala sesuatu (Q. 4: 126 dan 41: 54, lihat gambar 5 pada bab tujuh), maka Allah juga meliputi setiap diri manusia (Q. 17: 60). Allah meliputi segala sesuatu, yang dengan sendirinya meliputi langit dan bumi. Bak  cahaya yang kekuatannya mahadahsyat, yang menembus segala sesuatu. Dengan cahaya-Nya pula badan ruhani manusia dapat menampakkan bayangan Diri-Nya.


Ketujuh badan ruhani merupakan ruh insan. Dan, ruh insan merupakan singgasana bagi Sang Pribadi. Setelah manusia sempurna sempurna kejadiannya, maka Allah meniupkan Ruh-Nya ke dalamnya atau pada Sang Pribadi. Dengan demikian, kita hendaknya tidak kacau dalam memahami pengertian badan ruhani dan Ruh-Nya. Dengan adanya Ruh-Nya yang ditiupkan ke dalam diri manusia, maka manusia sempurna juga menyandang kedua-puluh sifat-sifat-Nya.


Ketujuh badan ruhani dan masing-masing fungsinya sebagai berikut :
1. Ruh jasmani berfungsi untuk memberikan hidup pada badan dan jasmani.
2. Ruh rabani berfungsi untuk mengatur dan mengoordinasikan seluruh sel, organ, dan jaringan tubuh.
3. Ruh rohmani berfungsi untuk memenuhi keinginan dan nafsu.
4. Ruh rohani berfungsi untuk memenuhi keingintahuan dan pengetahuan.
5. Ruh nurani berfungsi sebagai pemberi cahaya hidup dan menghidupkan cahaya bagi segenap cinta, kasih, nilai-nilai hidup.
6. Ruh nabati berfungsi untuk manghidupi angan-angan, imajinasi, akal-pikiran, dan budi luhur.
7. Ruh idhafi (roh ilapi) berfungsi untuk memberi hidup dan menggerakkan kehidupan atma atau


Sang Diri (Sang Pribadi). Hubungan Roh ilapi dan sang Sang Diri itu seperti kayu dan apinya. Dan, roh ilapi-lah penggerak rasa pangrasa atau semua rasa batin yang ada pada badan sirr. Penjelasan lengkap tentang roh ilapi ini bisa di baca pada buku Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.
Roh ilapi adalah ruh yang menjadi penghubung antara nafs atau jiwa dengan Tuhannya, yang dengan sendirinya dengan Tuhan semesta alam. Bila seseorang sudah tembus kepada Tuhannya atau Sang

Pribadi  atau ingsun sejati, maka kuadrat dan iradatnya sudah tanpa peranti lagi. Dan, untuk mencapai hal itu, semua indra-badan jasmani, badan nafsani dan badan ruhani benar-benar harus sudah bisa diam total. Peristiwa ini  disebut mati sajroning urip, urip sajroning pati. Dengan kata lain, dia harus mempraktikkan laku mati jroning urip, urip jroning lampus, yaitu mati dalam badan yang masih hidup, dan mengalami kehidupan pada badan yang tampak mati.
Lalu , bagaimana keadaan mati yang sebenarnya bila ternyata badan nafsani dan ruhani manusia itu baerlapis-lapis?


Pada prinsipnya, orang disebut mati bila badan jasmani berpisah dengan badan nafsaninya, atau badan susah tidak berjiwa lagi. Lha, bagaimana dengan jiwa itu sendiri? Jiwa sendiri ya tetap hidup selama masih dijumenengi  badan ruh atau dijadikan wahana bagi Sang Diri (yang dalam bahasa Inggrisnya disebut the real self). Bila Sang Diri dengan menggunakan badan ruhaninya meninggalkan badan nafsani atau jiwa, maka musnalah badan nafsani. Dan, bila Sang Diri meninggalkan badan ruhani, maka lenyaplah badan ruhani itu. Akhirnya, tinggal Sang Diri yang ada di hadirat Tuhan.
Tapi, jangan lupa, lho. Semua itu hanyalah fenomena atau penampakan dari Wajah Tuhan Yang Maha Esa. Itulah yang diebut Esa dalam Dzat-Nya tapi Dia menampakkan diri dalam aneka wajah.


Dengan memahami hal ini dengan penuh kesadaran, maka kita akan sujud di hadirat-Nya dengan mendengarkan firman-Nya,”Wa li allah al masyriq wa al-maghrib fa aynama tuwallu fa tsamma wajhu allah inna allah wasi alim”. Dan, kepunyaan Allah timur dan barat itu, maka kemana pun kamu menghadap di situlah Wajah Allah; sesunggugnya Allah itu maha luas dan mengetahui.
 Ya..., ya...., ke mana saja kita menghadap, sebenarnya kita menghadap kepada Wajah Tuhan; bukan menghadap Tuhan. Kemana pun kita memandang, maka sesunggungnya kita memandang Wajah Tuhan. Artinya, dimana saja yang ada hanyalah Wajah Tuhan. Tak ada yang bukan Wajah Tuhan. Makamya, pada ayat tersebut dinyatakan bahwa “Sesungguhnya Allah itu Maha luas dan Mahatau”. Bagaimana tidak disebut “Mahaluas”, wong semuanya itu Wajah-Nya! Segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, yang amat dekat maupun yang sangat jauh, itu semua merupakan penampakan Wajah-Nya. Tak ada secuil pun yang bukan Wajah-Nya. Dengan sendirinya dia pun Mahatahu. Apa ada sesuatu yang jauh dari-Nya?
 

Kalau semua itu Wajah-Nya, dan Tuhan hanya satu, maka hakikatnya keberadaan ini bukanlah dualitas. Untuk mengingat kembali hal ini marilah kita hadirkan kembali puisi tentang keberadaan tunggal yang ada pada bab tujuh.

Bersanggama di dalam keberadaan
diliputi yang Ilahi 
        hitunglah kehambaannya
        lebur lenyap sirna lelap
       digantikan keberadaan Ilahi
        kehidupannya
        adalah hidup Ilahi
Lahir batin keberadaan Sukma
Yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
Sendiri menyembah-disembah
Memuji-dipuji sendiri
Bertimbal balik
Dalam hidup ini
 

Perhatikan dengan saksama apa yang di ucapkan al-Hallaj di atas, dengan apa yang dinyatakan oleh Syekh Siti Jenar. Dengan bahasa yang berbeda, tetapi maknanya sama. Yaitu, lebur lenyap, sirna lelap, hilanglah kehambaan. Yang lenyap itu adalah penegasan eksistensi kehambaan. Jika penegasan kehambaan itu tetap ada, maka ada dua keberadaan di semesta raya ini, yang keduanya tentunya terikat oleh ruang dan waktu. Begitu kita mengakui keberadaan kita, maka kita ada dalam dualitas.
 Ada dalam dualitas, artinya kita mengakui ada dua keberadaan, yaitu keberadaan inferior (kualitas keberadaan yang lebih rendah) dan keberadaan superior (kualitas keberadaan yang lebih tinggi). Jika demikian, maka kedua keberadaan itu tumbuh melalui sebuah proses. Dan, itu bukanlah keberadaan yang kekal! Jikalau tiada keberadaan yang kekal, maka tak mungkin ada penampakan atau fenomena di alam semesta.


Apabila kita menyadari spenuh hati kandungan puisi tentang keyakinan Syekh Siti Jenar tersebut, maka kembali kita akan bersujud di hadirat-Nya dan bersalawat kepada Nabi-Nya dengan tunduk tawadhu mendengarkan firman-Nya, “fa udzkuruni adzkurkum wa usykuru li wa la takfurun”. Maka, berzikirlah kepada Aku, niscaya Aku berzikir kepadamu, dan janganlah kamu mengingkari (anugerah)-Ku.
 

Ternyata Alquran membenarkan apa yang disampaikan oleh Syekh Siti jenar. Perhatikanlah secara cermat kandungan ayat Al-qur’an itu. Bukankah yang berzikir dizikiri, yang mengingat diingat, yang bersyukur disyukuri? Luuaar... biasa, pengetahuan hakikat yang diberikan Tuhan kepadamu, Syekh! Namun, kami ini banyak yang awam dalam ilmu hakikat, sehingga kami tidak paham akan relasi hamba dan Tuhannya, hubungan Sang Diri dan Allah.
 

Kita hidup karena kita diberi urip atau sang hidup oleh Tuhan. Namun, badan jasmani ini hanyalah fenomena yang terikat oleh waktu dan situasi psikologis. Hakikatnya badan jasmani ini ya nggak ada, karena kita hanyalah penampakan yang numpang lewat di layar perak. Kalau layarnya digulung, ya lenyaplah kita. Bukankah kita ini pemain sandiwara di atas panggung? Maka, jika panggungnya di gulung, ya tak ada sandiwaranya. Kita akan manggung lagi bila dikehendaki-Nya!
 

Tiap-tiap sesuatu musnah, dan hanya Wajah-Nya yang kekal, abadi selamanya. Selama kita menjadi sesuatu kita pasti sirna. Inilah hukum kekekalan. Inilah yang disebut dalam agama Buddha bahwa segala sesuatu itu bersifat maya. Artinya, segala sesuatu tidak mempunyai keberadaan diri. Dengan sendirinya segala sesuatu hanyalah fenomena sementara saja. Semuanya muncul dan lenyap karena adanya sebab dan kondisi.
 

Nah, kita harus bergerak dan berkehendak untuk menjadi Wajah-Nya. Itu kalau kita ingin hidup kita kekal. Hidup kekal bukanlah arbiter atau bersifat acak. Allah tak akan mengekalkan hidup kita bila kita tak berkehendak untuk hidup kekal. Sama seperti zikir, Allah hanya berzikir kepada orang yang berzikir kepada-Nya. Nah, untuk mengetahui apa yang dimaksud “hidup kekal”,hal ini akan dibahas dalam bab berikutnya.   


Sumber: Diketik dari buku berjudul “Syekh Siti Jenar”/PT. SERAMBI ILMU SEMESTA

Post a Comment

0 Comments