Kelahiran-Ketiadaan

08.10.2020




Saya masih syok dengan sebuah obrolan di meja makan tadi pagi. Itu adalah tradisi yang keluarga kami lakukan setiap harinya. Makan dan berdiskusi merupakan suasana yang jaranng saya jumpai di banyak keluarga. Pa (sapaan saya kepada Bapak) dan Bun (sapaan saya kepada Bunda) membuka sebuah fakta yang membuatku tercengan dan membuatku memakan semua air mataku bersama dengan nasi. Tidak ada raut muka sedih dan menyesal terlihat di muka pa ketika menceritakan fakta yang sebenarnya. Hari dimana aku di lahirkan  17 tahun lalu. Itu adalah kado yang sangat membuatku kaku membeku menerimanya.


Kenyataan yang harus ku terima bahwa saya adalah bukan anak biologis dari orang yang selama ini mendidikku dengan baik dari kebanyakan keluarga mana pun. Mereka orang tua yang mungkin tidak akan ku jumpai dimana pun. Mereka menyayangiku lebih dari dirinya sendiri. Semua yang terbaik telah banyak diberikan kepadaku sejak masih kecil, dan saya tidak tahu harus bagaimana menyikapi kado mereka. Dari raut muka mereka, sepertinya hal itu bukanlah sesuatu yang masih hangat direncanakan dari kebanyakan kado sebelumnya.


“itu adalah hak kamu sebagai seorang manusia yang mulai beranjak menjadi manusia yang merdeka” kata Pa sambil menatapku dengan tenang dan dalam.


Namaku adalah Dasen, dan orang-orang menyapa saya dengan sebutan “Das”, tanpa kata kedua ataupun nama keluarga. Kata Bunda, nama itu adalah hadiah pertama Pa kepada saya. Saya belum paham persis apa maknanya karna saya belum sempat menanyakan hal itu kepada Pa, karena Bunda pun tak tahu dan tidak pernah diberitahun oleh Pa.


Orang tua mendidikku dengan banyak hal yang tidak ku dapat di bangku sekolah selama ini. Bagiku, meja makan adalah sekolah kedua dalam benak. Terlebih Pa yang sangat asik dalam membahas apa pun itu. Dia adalah sosok yang tidak memiliki sosok. Karakter bawaannya sangat tidak terbaca, namun dibalik karakternya tidak pasti itu, ada hal sangat pasti, yaitu kemampuannya memastikan topik pembicaraan yang pas dengan suasana hati lawan bicaranya. Sedangkan Bunda adalah sosok perempuan yang memiliki kepribadian yang tidak dimiliki oleh Pa, yaitu sifat keibuan yang di penuhi dengan kasih sayang.


Ini adalah tulisan pertama saya, dan kali ini saya tidak ingin kalian tahu tentang sosok orang tuaku, namun ingin menceritakan tentang diriku saat ini.


Pandanganku masih sedikit melayang-layang, bingung ingin menentukan arah, semuanya ada sekaligus hampa. Ada, karena saya tahu orang tuaku telah memilih usia yang pas untuk membuka rahasia yang selama ini tidak saya ketahui. Hampa, karena tiba-tiba saja pikiranku dihantui ketiadaan yang sebenarnya. Bangunan harapanku sekejap saja runtuh.


Saya hanya ingin mengikuti pikiranku ingin kemana arahnya. Ya, itu adalah ajaran Pa juga kepada saya. Katanya, jika ingin tidak pusing, biarkan saja mengalir seperti apa adanya termasuk pikiran kita.


Faktanya, saya adalah seorang anak yang di adopsi di panti asuhan sejak masih berumur 1 hari. Itu hari pertama dan terakhir saya di panti asuhan.


Sejak kecil, saya sering diberikan asupan pikiran yang sangat cukup. Bunda menceritakan hal itu, seorang Pa mampu meladeni saya hingga berjam-jam ketika menanyakan sesuatu yang berulang dan menjelaskan berulang juga. Semuanya begitu indah dengan Pa yang tidak kehabisan kesabaran dalam menjelaskan. Pa selalu menjelaskan mendetail segala sesuatu yang membuatku bingung.


Alur pembicaraan dalam keluarga berubah seiring dengan bertambahnya umurku. Umur 10 tahun Pa telah membiasakan saya dengan istilah-istilah yang berbau filsafat. Berbagai topik, dari kebebasan seorang manusia, alam, moral, teknologi dan masih banyak lagi. Saya masih ingat pertanyaan yang membuat saya mengakui Pa adalah seorang guru sejati. Hari itu, di sekolah guru mengajarkan tentang artinya berbakti kepada orang tua hingga mereka tua. Seorang anak yang baik harus bisa merawat orang tuanya kelak.


Dalam perjalanan pulang, saya kemudian bertanya-tanya dalam benak, “apa Iya, orang hidup tujuannya untuk menjaga keamanan orang tuanya kelak, apa Iya, seorang anak dilahirkan untuk itu?” dan banyak lagi yang berputar di kepalaku.


Seperti biasa, sore hari di kebun Pa saya mulai menyakan tentang hal itu kepada Pa. Dan jawabannya memuaskan dahagaku


“Hum, ada benarnya juga kata gurumu, tapi harus dilihat dahulu untuk siapa makna kalimat itu. Jika hal itu Pa yang menjelaskan kepada Dasen, maka nilainya akan bergeser. Sejatinya, seorang anak bukanlah investasi orang tuanya di masa pensiun. Mereka adalah buah hati yang memiliki sayap untuk bebas di kemudian hari. Tidak seorangpun di dunia dapat memilih dilahirkan di rahim mana. Maka dari itu, bagi orang tua yang paham, tidak akan pernah tega meminta hal tersebut untuk anaknya, karena hanya kata memberi ada baginya. Memberi yang terbaik untuk anak meskipun tidak peduli kondisinya. Itu adalah hak anak, dan kewajiban orang tua. Untuk Pa dan Bunda kamu, segala hal untuk Dasen, adalah kewajiban yang Pa bahagia dalam mengerjakannya, tanpa disuruh siapapun apa lagi membuat Das berfikir untuk meminta sesuatu” jelas Pa dengan tenang. Saya yang mendengar saat itu, langsung memeluk Pa dengan haru, padahal Pa tidak memiliki karakter menjelaskan dengan prasaan. Mungkin karena Pa menjelaskan apa adanya.


Saya tidak memiliki alasan untuk marah, sedih, senang setelah mereka memberiku kado itu. Mereka bagi saya adalah segalanya...ya, segalanya...


Bayangan Pa masih terus berputar di dalam isi pikiranku. Tangannya yang kasar itu masih terasa di bagian rambutku ketika mengucapkan selamat kepadaku. “Selamat lahir dari ketiadaan Dassollen”, kata Pa yang berdiri sambil mengusap kepalaku. Mataku hanya melotot kedepan di ruang makan. Saya tidak kuasa berteriak bahwa Pa salah mengucapkan namaku.


"Das, makan malam nak!, Pa sudah nunggu ni..."teriak ibu dari arah ruang makan.

...


“Selalu ada selamat yang baru di tahun berbeda untuk yang mengharapakan”

Post a Comment

0 Comments