Fragmen pertama. Di penghujung abad ke-18 hingga awal abad ke-19 para gerejawan menghilangkan kebosanan dan menikmati waktu senggang di tepi pantai, di resort-resort awal, atau spa-spa yang dibangun Bersamaan dengan tumbuhnya kapitalisme konsumen di Inggris. “Di sinilah awalnya”, ungkapan David Chaney (1994), “waktu senggang menjadi sebuah benda dalam budaya konsumen”. Benda itu dipertukarkan secara simbolis untuk mencapai taraf kepantasan sosial yang khas menengah: kelas waktu senggang.
Mereka adalah “segmen masyarakat khusus” yang memiliki waktu luang yang panjang untuk dihabiskan. Dengan tidak bekerja terlalu keras, mereka punya uang untuk berlibur dan waktu senggang. Tak perlu pontang-panting menjadi buruh. Mereka hidup dengan kesenggangan. Mereka menghidupi waktu-waktunya dengan membayar mahal untuk rekreasi di waktu senggangnya.
Budaya semacam ini, yang pada awalnya hanya memiliki eksklusif “kelas waktu senggang” (leisure class), akhirnya berkembang dan dimanfaatkan dengan baik oleh para pengusaha. Mereka membangun lebih banyak pusat wisata dan waktu luang: resort, spa, diskotek, society de harmoni, serta vila-vila di pegunungan dan kafe. Di sini, konon, ekonomi pun berjalan.
Fragmen kedua. Seiring dengan menyebarnya semangat industrilisasi pasca revolusi industry, Inggris dan Eropa pada umumnya pertumbuhan cepat. Alat-alat rumah tangga dan perlengkapan untuk memudahkan kehidupan umat manusia semakin lengkap. Kapitalisasi dan modernitas telah berpadu menciptakan teknologi bagi hidup manusia.
Di pertengahan jalan, sekitar satu hingga dua abad industrilisasi, buah itu, bagi sebagian orang, sudah bisa ditua: pakaian yang awalnya merupakan yang sulit, kini diproduksi massal oleh mesin tekstil temuan baru; transportasi dari satu tempat ke tempat lain semakin lancer dengan lokomotif dan mobil; hubungan komunikasi jarak jauh telah tersambung melalui dering telepon; penemuan mesin pencuci pakaian telah memangkas waktu kerja rumah tangga; dan seterusnya.
Karena itulah semua, sebuah kesimpulan dini, hidup manusia akan kian senggang. Akan tiba masa yang disebut the age of leisure. Bernarkah? Francis When (2010) agak satiris menjawab, “pada 1970-an banyak digembae-gemborkan soal datangnya ‘zaman waktu senggang’ (leasure age), di mana berkat mesin-mesin otomatis kita nyaris tak perlu bekerja sama sekali. Berlimpah buku-buku yang dengan tulus merenungkan seperti apa kita akan mengisi waktu luang yang baru itu tanpa kita menjadi pemalas. Barangsiapa pada zaman itu menemukan salah satu traktat terlupakan itu di kios buku bekas tertentu akan tertawa terbahak-bahak. Rata-rata pegawai di Inggris kini bekerja 80.224 jam selama usia kerjanya, di bandingkan 69.000 jam pada 1981. Alih-alih terlepas dari etos kerja, kita kelihatan diperbudak olehnya”.
Atau ungkapan De Angelis (2011) ini, “Dapat kita lihat pada abad ke-14 waktu kerja masyarakat sekitar hanya 1.300 jam dalam setahun, namun pada akhir Revolusi Industri pad 1840-an seorang pekerja pabrik memiliki waktu kerja dalam setahun sekitar 3.500 jam. Sebelum kapitalisme muncul masyarakat Eropa memiliki banyak hari libur publik. Kautsky memperikan dalam setahun jumkah hari libur publik di Eropa, pada waktu itu, 204 hari”.
Fragmen ketiga. Dua dekade sebelum abad ke-21 tiba, di Indonesia, di bentang alam nun jauh dari Eropa ada yang tumbuh diam-diam: mal. Sebuah situ waktu senggang yang menggabungkan seluruh imajinasi konsumen dalam berwaktu senggang. Berbelanja, jalan-jalan, mandi, spa, ngopi, dan sebagainya.
Mal berubah menjadi situs budaya waktu senggang yang dominan di kota-kota di Indonesia. Sebagai contoh di Makassar. Pengunjung Mal GTC pada 2007 adalah 3.848.763 (laporan PT. GMTD). Mal Ratu Indah dikunjungi sekitar 4.731.538 orang per tahun. Mal Panakkukang dikunjungi sekitar 15 ribu orang per hari atau, bila dikalikan, pertahun bisa melebihi 5 juta orang. Data ini menunjukkan jumlah pengunjung pada 2006. Tingginya angka pengunjung mal menjadi sebuah ironi ketika dibandingkan dengan penduduk Kota Makassar yang hanya 1.253.656 orang, yang terdiri atas 601.304. laki-laki dan 652.352 jiwa perempuan.
Telah lahir kelas waktu senggang? Mungkin.
***
“saat ini, waktu senggang”, ungkap David Chaney, seorang sosiolog dan peneliti gaya hidup Inggris, dalam bukunya yang pupuler Lifestyle (1996), “adalah sebuah celah ekonomi. Sebuah celah yang dimanfaatkan oleh kapitalis untuk mendapatkan dua keuntungan langsung: uang yang lebih banyak melalui economy of leisure dan buruh yang tak mudah marah!”.
Oleh: Muhammad Ridha
Dimuat di Literasi Koran Tempo Makassar, 13 Desember 2014
Sumber: Telinga Palsu, Penerbit: Nala Cipta Literasi
0 Comments