KETIKA HATI RAGU UNTUK MELEPASKAN


Oleh
Angk. Lulusan PMMK Paket B 2017
HMK FMIPA Unhas


Kami lemah ketika di hadapan mereka, tapi kami akan kuat ketika satu dari mereka terluka.”, merinding bulu kudukku memaknai satu kutipan kalimat dalam tulisan ini. Berbahagialah mereka yang dengan sabar dan tekun dalam mendidik mereka  ~RhD


***
Sumber: http://www.warungsatekamu.org/
Kisah ini basi, yah benar-benar basi. Basi bagi orang-orang yang tidak memaknai arti berjuang. Seketika air mata mengalir ketika harus mendengar ungkapan “SELAMAT JALAN” aka nada hati yang terus bertanya-tanya. Akan ada jiwa yang menuntut untuk selalu Bersama, bahkan ada air mata yang tak dapat melihat segalanya. Kisah ini kuukir ketika hati tak dapat meraasakan lagi, ketika raga tak mampu lagi, dan ketika lisan terkunci oleh semua ini. Yang ada hanyalah sepucuk kertas yang berjuang untuk memaksa kembali. Sosoknya dating bagai malaikat dan seketika menjelma menjadi sosok misterius yang akan membawa perkara buruk, ahkk ketika teringat lagi hanya rasa muak yang berlalu disaat itu… saat ketika aku belum cukup umur untuk memaknai semuanya.


Kata mereka kita keluarga bahkan lisannya berucap bahwa kita anaknya. Tingkahnya lebih dari sosok yang mereka sebut. Kami salut, sungguh luar biasa. Tapi waktu memberi tahu bahwa mereka akan pergi jauh. Jelasss ini tidak bias disetujui. Dengan tegasnya mereka berkata bahwa kami keluarganya, kami anak-anaknya tapi tanpa bisikan mereka semua hendak pergi. Mereka menjauh atau telah muak akan segala hal. Kisah ini menjadi tidak menarik ketika semua tokohnya semua hilang. Bahkan aku suka ketika harus berhadapan pada suatu kisah yang memukul dan sangat memukul.


Mereka ingin pergi, ketempat yang jauh sampai kami bias mengenal arti sebuah melepas. Tetap tidak setuju dengan ini. Ketika kami dihadapkan pada ketakutas, kami lawan dengan kebersamaan, ketika dihadapkan pada perkara, dihadapi dengan otak yang kosong. Tapi ini beda, ketika sosok yang kuanggap lebih dari sosok keluarga itu ingin meninggalkan kami. Mengenal mungkin bias kami tolak, tetapi melepas itu sungguh tidak ada di memori kami. Semuanya terucap begitu saja, ada rasa takut kehilangan. Mengenal dan saling kenal itu sulit, sungguh sulit. Terlebih sulit ketika harus mendengar untaian kata perpisahan. Mereka hadir sungguh misterius, kini satu per satu lari entah kemana, atau bahkan bersembungi dari sosok kami yang layaknya seorang anak kecil yang Taunya hanya mencari dan mencari. Kami ada pada usia dewasa tapi kami sosok anak kecil di mata mereka. Segala tindakan mereka perhatikan, segala kesalahan mereka hilangkan. Sungguh dialektika yang mengesankan dan layak menjadi sebuah kenangan. Kisah ini sebentar lagi akan berakhir ketka satu per satu dari mereka pergi, alasannya kami tidak tahu. Intinya kami hanya anak kecil yang selalu mengharap perhatian. Kami lemah ketika di hadapan mereka, tapi kami akan kuat ketika satu dari mereka terluka. Ikatan kami kuat. Berikan kami penghalang maka kami kami hadapi dengan senyuman. Berikan kami kesulitan kami tau makna berjuang. Tapi jangan beri kami cerita perpishan, Karena kami akan menjadi semut kecil yang taka da apa-apanya. Memaknai kata perpisahan begitu sadiss….sungguh sadisss…..


Inginku hanya sebuah pertemuan, bukan perpisahan yang melahirkan perkara luar biasa. Menjaga dalam jauh sulit bagi kami, menggenggam dalam kegelapan juga sulit, tapi sulit ketika harus berjalan sendiri tanpa mereka.


Sosok kecilmu ini akan selalu ada, dirimu kini menghilang satu per satu, tapi jangan sampai warnamu pudar. Karena anak kecilmu tidak mampu mengukir indahnya warnamu. Kepergianmu adalah ajaran untuk dewasa. Di satu sisi ini mengajarkan untuk selalu menghargai semua. Disisi lain, ini sungguh menjadi pukulan. Kami terbiasa pada sebuah perhatian, kami terbiasa pada sebuah pantauan. Ketika mereka pergi maka kami tetaplah anak kecil mereka. Lisannya mengucap kata itu, membuatku kagu sekagum-kagumnya. Senyumnya penuh warna yang tak terdefinisi lagi. Sosok bagai langit tak dapat ku ukir indahnya.


Mulai yakin akan banya hal, tidak seketika kami harus Bersama, tapi bagaimana kami saling menjaga dalam jauh, saling melangkah dalam gelap dan saling merangkul meski dalam diam.


Kisah ini mengajariku lagi, ikatan tak seharusnya sama. Ada kalanya kita pada ruang yang berbeda tapi hati tetap sama. Ada kalanya ketika raga berpisah tapi genggaman akan mengalahkan semua. Sungguh menyedihkan ketika harus merenungi semua, sungguh mengharukan ketika harus mengenang semua. Drama yang kami sebagai pemeran utama ini, sangat bermakna. Hati mana yang tak iri melihat semua ini, silahkan beri aku satu sosok yang benci akan hal ini, maka akan kuhadapkan dia pada sejuta sosok yang akan menantangnya.


Aku lebih pada sebuah tindakan, bukan tindakan. Bukan ini mewakili segalanya ketika lisanpun tak bias berdialog lagi. Cukup lisan ini terukir layaknya tulisan mati, sama seperti yang lainnya. Yang tidak ada orang yang tau artinya, yang membuat orang menangis ketika menghayatinya, yang mengundang duka ketika memahaminya.


Untaian kata itu tertuang spontan, ini bukanlah fikiran belaka, ini murni dari hati. Dan semuanya bukanlah mimpi yang dapat lenyap ketika berganti pagi. Ini nyata dan sungguh nyata.



Sumber: Diketik dari buku dengan judul “Reposisi Peran Pengaderan Era Globalisasi”/Inventaris HMK FMIPA Unhas

Post a Comment

0 Comments