Oleh
Jalaluddin Rumi
Sirajuddin
berkata: “aku pernah membicarakan suatu masalah dan tiba-tiba aku merasa ada
sesuatu yang menyakiti di dalam hatiku”.
Maulana Rumi
menjawab: “sesuatu itu adalah wakilmu. Ia tidak mengizinkanmu untuk
membicarangkan masalah itu”.
Meskipun demikian,
kamu tidak bisa melihat wakilmu dengan mata telanjang. Saat kamu merasakan
rindu, tertarik, atau sakit, dirimu tahu jika di sana terdapat wakilmu.
Misalnya, kamu masuk ke dalam kolam air, di satu sisi kamu merasakan kelembutan
mawar dan wangi bunga. Namun, saat itu kamu berada di sisi lain, kamu merasakan
tusuk duri. Setelah itu kamu baru sadar bahwa satu sisi adalah bumi berduri
(banyak durinya) yang penuh gangguan dan derita, sedang sisi yang lain adalah
taman yang di penuhi kebahagiaan, meskipun kamu tidak melihat keduanya. Mereka
menanamkan perasa ini dengan sebutan Wijdan
(hati nurani). Ia lebih terang dari sesuatu yang dapat dilihat oleh mata.
Misalnya lapar dan
dahaga atau kemarahan dan kebahagiaan, semua itu adalah sesuatu yang tidak
dapat dilihat, namun semua itu memengaruhi kita lebih dari apa pun yang dapat
dilihat. Karena itu jika kamu memejamkan mata, kamu tidak akan melihat sesuatu
yang ada di hadapanmu, tetapi dirimu tidak akan bisa mengusir rasa lapar.
Dengan cara yang sama, hangat dan dingin yang melekat pada hidangan makan
malam, serta manis dan pahit yang melekat pada makanan lainnya, semua itu tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang, namun lebih dari itu ia mampu dirasakan
oleh organ tubuh yang lain.
Sekarang, mengapa
kamu hanya mementingkan tubuh ini? Apa hubunganmu dengan tubuh ini?. Padahal
kamu dapat berdiri tanpanya. Selamanya kamu tanpa tubuh. Di malam hari kamu
tidak memedulikan tubuhmu, sementara di siang hari kamu selalu disibukkan
dengan bermacam pekerjaan. Pada saat itu dirimu tidak bersama tubuhmu. Bagaiman
kamu bisa merasakan gemetaran tubuh ini, padahal kamu tidak pernah bersamanya
bahkan selama satu jam pun Karena kamu selau berada di tempat-tempat lain?. Di
mana kamu dan di mana tubuh itu?. “kamu
berada di satu lembah, dan kamu berada di lembah yang lain”.
Tubuh ini adalah
sebuah tipuan besar. Bayangkan jika kamu mati, maka sejatinya dia juga mati.
Lalu apa yang kamu gantungkan pada tubuh?. Dia adalah penipu ulung. Para tukang
sihir Fir’aun yang berdiri seperti semut kecil dan mengorbankan tubuh mereka
Karena merasakan yakin bahwa mereka akan kekal tanpa tubuh dan tidak akan
ketergantungan antara tubuh dengan mereka. Demikian juga yang terjadi pada Ibrahim,
Ismail, serta Nabi lainnya dan wali yang ketika berdiri, mereka melepaskan dari
urusan tubuh dan dari sesuatu yang ada maupun yang tidak ada.
Al-Hajj pernah
mengisap ganja lalu menyandarkan kepalanya ke pintu dan berkata: “jangan
menggerakkan pintu ini atau kepalaku akan jatuh”. Dia menyangka bahwa kepalanya
tidak bersambung dengan tubuhnya dan ia masih bisa berdiri Karena pintu itu.
Demikian juga dengan keadaan kita dan seluruh manusia: Mereka menyaka ada
ketertarikan antara dirinya dengan tubuh mereka, atau mereka bergantung kepada
tubuh untuk bertahan hidup.
Sumber: Diketik
dari buku berjudul “Fihi Ma Fihi”/FORUM
0 Comments