JANGAN REBUT DOSAKU

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu hari aku naik becak di sebuah kota kecil di suatu provinsi yang demi etika budaya dan sopan santun nasional tidak bisa aku sebutkan nama persisnya. Ketika itu sedang berlangsung hari-hari kampanye calon anggota legislative. Berbagai ukuran serta dengan retorika, slogan, dan kalimat-kalimat iklan yang saling bersaing mutu.

Sumber gambar: www.aldakwah.org/

Ketika becak kami melewati sebuah gambar sangat besar dengan wajah seorang caleg terpampang dengan gantengnya, cahaya wajahnya bercahaya dan bersih kulitnya. Pakai jas, dasi, dan peci, sebagaimana lazimnya tokoh panutan, saleh, pandai, dan profesional. Jasnya mencerminkan kecendekiawannya, dasi melambangkan keunggulan profesionalnya, dan peci memancarkan kesalehan pribadinya.

Namun, aku kaget oleh celutukan tukang becak di belakang saya: “alaaa wong nek nising nggowo pecut oe kathik nyaleg barang!”- kemudian dia tertawa sendiri. Beberapa saat kemudian tertawa lagi, bahkan sekali ia tertawa terpingkal-pingkal setelah mengulang kalimat yang aku tak paham itu.


Arti kalimat itu: “orang dia ini kalau buang air besar selalu membawa cambuk saja kok berani-beraninya jadi caleg”. Tukang becak ini ngomong kepada dirinya sendiri, tetapi juga mungkin setengah sengaja supaya terdengar oleh saya. Tetapi, sekali lagi benar-benar aku sama sekali tidak paham. Penasaran betul, tetapi ternyata segera tiba di tempat tujuan, sehingga tak ada kesempatan untuk menanyakan kepadanya apa maksud ungkapan itu.

Ungkapan itu memiliki level dan mutu yang tidak bisa dianggap enteng. Simbolismenya multimedia, tak sekedar literer, straight image atau tudingan linier sebagaimana umumnya idiom yang hidup dalam masyarakat. Dalam ungkapan itu bukan hanya ada buang air dan cambuk, tetapi juga ada adegan orang buang air dan adegan orang membawa cambuk. Ia bukan sekedar sastra, ia juga teater dan pasti filsafat.

Memang sosiologi budaya masyarakat di kota kecil itu berbeda cukup menyolok dibanding kebanyakan tempat-tempat lainnya. Mereka terkenal sangat egaliter, bahasanya sangat terbuka dan telanjang, tanpa rumbai atau hias-hiasan. Mereka pernah melahirkan suatu jenis kesenian tradisional yang sangat segar secara budaya, sangat mengandung sensabilitas kemanusiaan, progresivitas politik dan bahkan kewaspadaan futurologis. Kesenian jenis itu tampaknya memang tidak mungkin lahir kalau tidak dari habitat dan tradisi macam yang mereka miliki.

Manusia dan masyarakat di wilayah itu terkenal sangat berkepribadian merdeka, tidak mudah kagum, tidak cenderung menjunjung tokoh atau mendewa-dewakan idola. Ada took dari tempat ini menjadi presiden namun bukan urusan besar bagi masyarakat di sini. Mereka tidak berbunga-bunga punya warga yang jadi presiden. Mereka tidak tampak bangga, dan ketika presiden itu dijatuhkan dari kunsinya, masyarakat di sini juga tidak  membelanya, bahkan tak cukup banyak mempersoalkan atau memperbincangkannya.

Akhirnya, karena aku tidak bisa menghilangkan rasa penasaran terhadap ungkapan tukang becak itu, maka hari itu bertemu siapa pun aku ajak berdiskusi tentang itu. Beberapa teman aku sesama professional menengah sama sekali tidak memilik pengetahuan tentang ungkapan itu. Baru malam harinya, tatkala aku bersama beberapa teman sesama pengusaha menikmati nasi kikil di sebuah warung, aku memperoleh peluang untuk mengerti karena cukup banyak orang-orang lain di tempat itu yang spontan bisa kami ajak mengobrol.

Masyarakat di daerah ini tidak perlu saling kenal nama, identitas dan latar belakang untuk bisa mengobrol seperti sahabat sejak kanak-kanak. Tidak perlu memenuhi persyaratan komunikasi apa pun untuk bisa bercengkrama seperti teman lama yang dulu pernah tinggal sekamar selama lima tahun.

Seseorang tiba-tiba meledak tertawanya mendengar pertanyaan aku tentang ungkapan tukang becak itu.
“itu maksudnya orang pelit, Mas.”
Saya kaget. “pelit?”
“ya, sangat pelit,” jawabannya.
“keterlaluan pelitnya,” seseorang di sebelahnya menambahi.
“apa hubungannya sama buang air besar dan cambuk?”
Orang itu tertawa lagi, bahkan agak berkepanjangan.
“saking pelitnya, sehingga kalau orang itu orang buang air besar di sungai, lantas ada ikan-ikan datang berkerumun untu memakan (maaf) tahinya, maka orang itu sudah siap mencambuki dan mengusir ikan-ikan itu.”

Saya dan dua teman aku tak bisa menahan ledakan tertawa kami. Bahkan sesuadah selesai satu kali tertawa, tiba-tiba ingin tertawa lagi.

Namun, aku sempat mendengar beberapa orang lainnya berkomentar bersahut-sahutan bergantian.
“tahinya saja tidak boleh dimakan orang lain, apalagi uang dan kekayaannya.”
“begitu kok mau jadi wakil rakyat.”
“wakil rakyat yang baik itu ya tidak eman dengan duitnya, siap membagi-bagi uang kepada siapa saja supaya ia dipilih.”
“semakin banyak uang mereka berikan kepada rakyat, menunjukkan tingginya kesungguhan kepemimpinannya.”
“di pesantren sana itu ada caleg Cuma membuat satu unit kelas saja sudah minta dipilih, tanpa melihat bahwa pesaingnya sudah mendirikan satu gedung penuh.”
“ada lho yang bikin jembatan…”
“kalau Cuma ngasih karpet atau tikar ya jangan jadi wakil rakyat, jadi kondektur bis aja.”
Medadak komentar-komentar mereka dipotong oleh salah seorang teman yang datang Bersama saya.
“tapi, orang buang air besar bawa cambuk itu bukanlah gambaran orang paling pelit.”
“begitu itu masih belum pelit?” mereka bertanya.
“ada yang lebih pelit.”
“bagaimana itu? Siapa?”
Teman aku bercerita bahwa ada seorang mantan gubernur yang menurut teman-temannya sesama pejabat tinggi: dia itu pelitnya sedemikian rupa sehingga dosanya pun tidak akan pernah di berikan kepada siapa pun juga.

Maka riuh rendahlah orang-orang di warung itu berkomentar.
“mestinya para malaikat semuanya sudah tahu itu sehingga tak aka nada yang berani mengantarnya ke surga.”
“itu contoh teladan dari tokoh yang sangat konsisten dan istiqomah.”
“mestinya beliau menulis buku misalnya berjudul Perjuangan dan Doa Panjang Mempertahankan Dosa-Dosa.
“saya mau lho jadi ketua panitia Napak Tilas dosa-dosa beliau.”
“yang pasti tidak mungkin memohon ampunan kepada Tuhan.”
“mungkin malah Tuhan jadi tertarik, lho.”
“ya, ya. Semua orang minta ampun atas segala dosa, dia malah berjuang sepenuh hati mempertahankan dosa-dosanya…”


Saya malah jadi terseret oleh kecibang-kecibung komentar orang-orang di warung. Di otak aku malah muncul macam-macam: kalau buang air besar bawa cambuk itu levelnya baru ekstrimitas kultural. Tetapi, kalau mempertahankan dosa-dosa jangan sampai terlepas dari dirinya, itu sebuah revolusi teologis, suatu pemberontakan moral yang sangat radikal.

Jer basuki mawa bea. Setiap keberhasilan membutuhkan pengorbanan. Salah satu resiko dari revolusi radikal mempertahankan dosa-dosa adalah ia harus berpuasa total dari rasa malu.




Sumber: diketik langsung dari Buku berjudul “Demokrasi La Roiba Fih”/Penerbit Buku Kompas, 2016

Post a Comment

0 Comments