Oleh:
Emha Ainun Nadjib
Indonesia adalah bangsa besar. Tanda kebesarannya
antara adalah lapang jiwanya, sangat suka mengalah, tidak lapar kemenangan dan
keunggulan atas bangsa lain, serta tidak tega melihat masyarakat lain kalah
tingkat kegembiraannya disbanding dirinya.
***
Dari lingkaran
khatulistiwa, Indonesia memiliki 12,5 persen, dan itu lebih cukup untuk
menguasai akses angkasa, satelit, dan wilayah otorites politik maupun
perekonomian informasi dan komunikasi. Kita adalah a big boss industry teknologi informasi sedunia. Tetapi kita sangat rendah hati dan mengalah. Kita tidak tega kepada “negara kecamatan” yang bernama
Singapura, sehingga kekayaan kita itu kita shadaqah-kan
kepada tetangga kecil itu.
Keluasan teritorial
dan kesuburan bumi maupun lautan, kekayaan perut bumi, tambang-tambang karun,
keunggulan bakat manusia-manusia Indonesia, pelajar-pelajar kelas Olimpiade,
kenekadan hidup tanpa manajemen, ideologi bonek, jumlah penduduk, kegilaan
genetika dan antropologisnya, dan berbagai macam kekayaan lain yang dimiliki oleh
“penggalan surga” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia – sungguh-sungguh
merupakan potensi yang tak tertandingi oleh Negara dan bangsa maupun di muka
bumi.
Akan tetapi,
sekali lagi, kita adalah bangsa yang lembut hati dan jauh dari watak Raja Tega.
Kekayaan-kekayaan itu kita persilahkan dikenduri oleh industri multinasional
dan orang-orang serakah: emas rojo brono
diangkuti tiap hari ke mancanegara. Dan itu bukan kekalahan, itu adalah
kebesaran jiwa. Kita bangsa yang kaya raya karena amat sangat kaya raya karena
amat sangat disayang Tuhan, sehingga kita pesta sadaqah dan infaq. Rakyat
kebanyakan iklhas dan menderita karena memilih surga, dan toleran kepada
sejumlah minoritas yang memang memilih neraka. Itu terkadang rakyat ikut rakus
sedikit-sedikit, dengan pertimbangan tak enak ata pekewuh kalua kita dari dunia langsung masuk surga tanpa menengok
saudara-saudara kita kita neraka. Tak baiklah itu. Apa salahnya kita mampir
juga beberapa saat di neraka, ngerumpi dengan
handai tolan di sana.
Pada suatu hari
TVRI, RRI, TNI, Polri dan berbagai mesin rumah tangga Negara kita sewakan atau
jual kepada tetangga. Berikutnya kita bercita-cita tak usah repot-repot
menghabiskan ratusan miliar untuk Pemilihan Presiden. Kita bisa mengontrak
tokoh manajemen dunia untuk memimpin negara kita. Juga Menteri-menteri kita
kontrak dari luar negeri, sebagaimana para pemain sepakbola. Dan puncak kelak,
MPR bisa mengambil keputusan untuk bikin proposal memohon kepada kerajaan Belanda
agar berkenan memimpin kita lagi.
Bangsa kita adalah
bangsa filosof. Kalau Presiden kita kontrak dan Belanda atau terserah negeri
maju manapun kita persilahkan memimpin, itu tidak berarti kita berada di bawah
mereka. Dalam teori demokrasi, rakyat selalu tertinggi, Presiden dan Kabinet
hanya orang yang kita upah dan harus taat kepada kita. Jadi sesungguhnya bangsa
Indonesia tetap di atas. Sebagaimana seorang Imam shalat diangkat oleh
makmumnya, Imam pada hakikatnya harus taat kepada makmum. Yang memilih taat
oleh dipilih. Apa lagi yang dipilih itu digaji. Makmum yang memilih Imam, tidak
ada Imam yang memilih makmum.
Sejak 200 tahun
yang lalu kekuatan bangsa Indonesia membuat dunia miris. Maka perlahan-lahan
terdesain atau tak sengaja, terdapat berbagai macam perjanjian tak tertulis di
kalangan kepimimpinan dunia di berbagai bidang: Jangan sampai Indonesia menjadi
bangsa yang besar, Jangan sampai Negara Indonesia menjadi negara yang maju. Sebab
potensi alam dan manusianya tak bisa dilawan oleh siapa pun. Kalua diberi
peluang, masyarakat setan dan iblis pun kalah unggul dibanding umat manusia
Indonesi. Sedangkan orang-orang Indonesia hidup iseng dan sambilan saja dalam
melakukan apa pun: setan-setan sudah semakin terpinggirkan dan kehilangan
pekerjaan.
Dan kita pun
sangat suportif kepada kehendak dunia untuk mengkerdilkan bangsa kita. Kita membantu
sepenuh hati upaya-upaya untuk mengkerdilkan diri kita sendiri. Sehari-hari,
dalam pergaulan maupun dalam urusan-urusan konstelatif struktural, kita sangat
rajin menghancurkan siapa pun yang menunjukkan prilaku menuju kemungkinan
mencapai kebesaran dan kemajuan bangsa Indonesia. Setiap orang unggul tak kita
akui keunggulannya. Setiap orang hebat kita cari keburukannya. Setiap orang
berbakat kita kipasi agar bekerja di luar negeri. Setiap orang baik tak akan
pernah kita percaya. Setiap orang tulus kita siksa dengan kecurigaan. Setiap orang
iklhas kita bantai dengan fitnah. Setiap akan muncul pemimpin sejati harus
segera mungkin kita ranjau untuk menjebak dan menghancurkannya.
Kita benar-benar
sudah hampir lulus menjadi bangsa yang besar. Dan puncak kebesaran kita adalah
kesediaan kita untuk menjadi kerdil.
Sumber: diketik
langsung dari Buku berjudul “Demokrasi La Roiba Fih”/Penerbit Buku Kompas, 2016
0 Comments