Sumber: http://islam-today.ru/ |
Orang terhormat di
kampung saya itu meninggal setelah sakit beberapa lama. Kami berduka. Mungkin dia
bukan orang besar, tapi kami menghormatinya. Dia seorang pegawai pemerintahan
yang segani anak buahnya. Di saat itu, di kampung saya, pegawai pemerintahan
sering bersikap merendahkan rakyat atau bawahannya. Sikap itu mengingatkan akan
sikap orang Belanda kepada pribumi. Tapi beliau lain. Beliau sangat lunak dan
ramah kepada orang lain, bahkan kepada anak-anak kecil seperti saya pada waktu
itu, sekali pun. Bicaranya lunak dan menyenangkan.
Prasaan halus. Mungkin
karena dia mengalami masa kecil yang susah. Ia dulu yatim, dan harus membantu
ibunya mencari nafkah. Entah bagaimana, dia dulu bisa bersekolah tinggi dan
berhasil menjadi pegawai pemerintahan.
Banyak orang yang
mengantar ke kuburannya. Saya takziyah di rumah saja. Saya duduk di samping
Sum. Sepupu saya.
“Beliau sangat
baik kepada orang lain”…gumam saya.
Sum diam saja
“Jarang orang
berpangkat bisa serendah hati seperti itu.”
“Di masa banyak
suap dan korupsi seperti ini, beliau termasuk yang jujur.”
Kali ini Sum
menoleh kepada saya. Saya juga memandangnya. Tapi Sum menatap Tikar, dan diam.
Kami diam lama. Sampai
kami berpamitan. Saya berjalan di samping Sum yang masih juga diam.
“kamu kenapa sih,
Sum?” akhirnya saya tidak tahan juga dengan sikapnya itu
Sum memandang
saya. Lama baru dia membuka mulut, meskipun terdengar sangat enggan.
“aku yang
merwatnya ketika sakit.” Dia memang perawat yang sering diminta merawat orang
sakit di rumah-rumah.
“Dan aku… kurasa,
aku menyaksikan kedatangan tamu itu…”
“Tamu siapa Sum?”
Sum berbicara
berhati-hati: “Tamu terakhir…”
“Sum, kamu jangan
berteka-teki. Kamu bikin aku takut. Ini bukan pembunuhankan?”
“Siapa sih?”
Sum menarik nafas
panjang.
“Waktu itu
sakitnya semakin parah. Dan kurasa Tamu itu dating kepadanya beberapa kali.”
Masyaallah, Sum
ini menguji kesabaran saya, kenapa dia bertele-tele begitu? Tapi saya menahan
diri. Mungkin saya akan memakinya nanti kalua sudah selesai dengan ceritanya.
“Ketika suatu kali
tamu itu dating, ia meronta-meronta sambil berkata ‘O, mengerikan!’ aku
bertanya kepadanya apa yang mengerikan. Dia bilang seperti melihat
perempuan-perempuan menari-nari, pantatnya bergoyang-goyang. Baginya itu sangat
menakutkan. Aku ingatkan dia untuk berdoa dan memohon ampun.”
Saya memandang
Sum: “kau bilang perempuan-perempuan yang menari-nari?”
Sum tidak
menjawab. Tapi dia melanjutkan pembicaraannya.
“Ia ku bantu
berdoa, lalu di tutupnya matanya. Rupanya dia meresa tenang setelah berdoa itu,
dan mau tidur. Dia masih sempat tersenyum. Kedengar dia berbisik senang ‘sekarang
kulihat anak-anak yang bermain’.”
“yang berat adalah
ketika tamu dating terakhir kali. Ia meronta dan menangis. Katanya: ‘Dia bukan
aku. Hidupku untuk berbakti. Bukan sepeti dia yang banyak berbohong aku bukan
dia. Dia bukan aku!’. Kembali kuminta ia untuk berdoa. Dengan sangat susah
payah dia berdoa. Akhirnya ia tenang kembali. Kiranya permohonan ampunannya
saat itu langsung dikabulkan.”
Badan saya terasa
basa oleh keringat. Apalagi Sum diam lagi lama.
“Sum, kamu bikin
aku takut.”
Sum menarik nafas:
“Kurasa Allah berkehendak memberi kita pelajaran dengan semua ini. Dan lewat
ia, kita mendapatkan pelajaran penting. Alangkah pemurahnyaAllah. Pertolongan-Nya
cepat dating ketika kita meminta dalam doa. Semoga Allah mengampuni dosanya,
dan menerima segala amal kebaikannya.”
O, saat yang
genting, ketika kekuatan malaikat dan kekuatan setan memperebutkan mahluk yang
sudah tanpa daya. Tarik-menarik untuk menyelamatkan atau menyesatkan. Setan sudah
berikrar untuk memperdaya manusia hingga detik terakhir mereka.
O, saat tidak bisa
lagi orang berbohong. Saat segalanya sangat terbuka. Semua transparan. Saat jiwa
menampakkan wujud aslinya. Jiwa yang secara alamiah memang tidak suka perempuan
menari-nari, apalagi dengan pantat yang bergoyang-goyang. Jiwa yang sifatnya
penciptaannya memang bahagia oleh anak yang riang bermain.
O, temu terkahir
yang menjemput, dan membawa kita pada perjalanan terkahir. Perjalanan kembali
kepada kampung asal mula kita.
Saya jadi teringat.
Banyak cerita tentang tamu terakhir.
Nenek saya ketika
akan bepulang, tiba-tiba berkata kepada Bibi saya yang sangat dikasihinya: “Ning,
aku akan pulang dulu, ya. Itu ayahmu dan Asih kakamu telah menungguku.” Kakek sudah
lama wafat. Asih adalah salah satu anak nenek yang meninggal saat masih kecil. Nenek
meninggal seolah sebagai orang yang pulang dengan penuh suka cita
Ayah seorang teman
sehari-hari bekerja membantu berdagang istrinya, dan mengajar agama. Di saat
sakit keras menjelang wafat, ia menatap pintu masuk kamarnya, dan berkata
ramah: “O, wa’alaikum salam wa rakhmatullaahi wa barakaatuh. Mari silahkan
masuk.” Lalu katanya kepada teman saya, seperti menyambut tamu terhormat dengan
tergopoh-gopoh: “Tolong tamu itu di persilahkan masuk dan duduk. “teman saya
tidak melihat tamu itu.
O, tamu yang
mengingatkan kita bahwa ada saat ketika tidak ada satu pun yang bisa menipu. Ketika
segala penilaian yang berlaku hanya penilaian mutlak dari Sang Khaliq.
Stephen Covey sang
pakar psikologi dan leadership menganjurkan kita membayangkan saat upacara
kematian kita, dan mengira apakah yang akan dikatakan orang-orang sekitar
tentang kita. Ia mengajarkan agr kita mempersiapkan diri sedemikian rupa
sehingga kesan orang-orang itu akan baik semata. Stephen mengajarkan kita arah
hidup dan motivasi yang hebat.
Tapi Allah mengajarkan kita yang jauh lebih hakiki.
Bagaimana pun baik
ucapan orang tentang kita di upacara pemakaman kita nanti, bagaimana pun baik
penilaian kita akan kita sendiri, tetapi Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk
memberi penilaian.
Ia tidak pernah
bisa dibohongi. Ia mengharuskan kita sangat jujur kepada diri sendiri dan
kepada-Nya.
Hanya perbuatan
yang sesuai dengan aturan-Nya dan yang diniatkan dipersembahkan kepada-Nya lah
yang akan diberi nilai.
O, Allah, bantulah
kami menepis semua penilaian semu.
Sudah waktunya
kami berpisah. Sum tidak berbicara apa-apa, hanya melihat ke wajah saya.
“terima kasih Sum,”
kata saya susah payah.
Sum lagi-lagi Cuma
diam. Saya sama sekali tidak ingat lagi kalua tadi saya ingin memakinya.
Madura,
Januari 2009
Sumber : diketik
dari Buku berjudul “Masjid Ferhadija ~ Cerita-cerita pengembaraan para pendamba
hidayah / PT. Gramedia Jakarta
0 Comments